Menolak Didikte Kepentingan Politik

Menegakkan etika dan norma dalam kebijakan di Indonesia ternyata cukup berat dan menyakitkan. Apalagi ketika upaya itu tersandera oleh kepentingan politik. Setidaknya itu dialami Sri Mulyani Indrawati selama menjabat menteri di Kabinet Indonesia Bersatu I dan II.

Selama lebih dari lima tahun Sri Mulyani menjabat menteri, yakni menteri PPN/kepala Bappenas, menteri keuangan, dan plt menko perekonomian, akhirnya dia mengungkapkan proses politik yang terjadi. Tekanan demi tekanan yang dia alami bertahun-tahun itu akhirnya dilontarkan menjelang kemundurannya dari posisi menteri. Pada 1 Juni 2010, dia sudah harus bertugas di Bank Dunia sebagai managing director yang bermarkas di Washington, Amerika Serikat. Meski dia mengaku bukan politisi, dan tidak berasal dari partai politik tertentu, dia tetap mencermati perkembangan politik di Tanah Air.

“Saya tahu persis bagaimana proses politik terjadi. Kita punya perasaan yang bergumul atau bergelora atau resah. Keresahan itu memuncak pada saat kita menghadapi realita jangan-jangan banyak orang yang ingin berbuat baik merasa frustasi. Atau mungkin saya akan less dramatic. Banyak orang-orang yang harus dipaksa untuk berkompromi dan sering kita menghibur diri dengan mengatakan kompromi ini perlu untuk kepentingan yang lebih besar,” ungkap dia di Jakarta, Selasa (18/5).

Ketika dia mencoba tetap teguh untuk berjalan dalam sistem, berusaha profesional, dan tidak kompromi, Sri Mulyani justru merasa dimusuhi semua pihak. Dia merasa terjepit dalam berbagai kepentingan segelintir kalangan. Sebagian kalangan yang simpati dirasakan tidak merasa senang dengan sikapnya, karena Sri Mulyani bertahan untuk melaksanakan amanah tugas sebagai pejabat publik dalam sistem. Sedangkan bagi mereka yang tidak sejalan akan lebih jengkel lagi, karena tidak bisa masuk kelompok yang bisa diajak “enak-enakan”.

Dia pun mengalogikan keberadaannya sebagai pejabat publik selama ini seolah-olah seperti isi roti sandwich yang terjepit dari dua sisi. “Kalau pada hari ini tadi disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan atau ada yang menangisi ada yang gelo (menyesal), kenapa kok Sri Mulyani memutuskan untuk mundur dari Menteri Keuangan. Tentu ini adalah suatu kalkulasi di mana saya menganggap bahwa sumbangan saya, atau apapun yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik. Di mana perkawinan kepentingan itu begitu sangat dominan dan nyata. Banyak yang mengatakan itu adalah kartel, saya lebih suka pakai kata kawin, walaupun jenis kelaminnya sama,” terangnya.

Semasa krisis keuangan global berimbas ke Indonesia pada 2008, Sri Mulyani pernah digosipkan terlibat konflik dengan pejabat negara yang juga seorang pengusaha, karena salah satu perusahaan pejabat negara itu di-suspen dari perdagangan saham di pasar modal. Konflik itu terjadi karena Sri Mulyani menolak berkompromi untuk memuaskan kepentingan kelompok tertentu. Kabar yang santer itu bahkan sampai menggosipkan Sri Mulyani akan mengundurkan diri dari jabatan menteri. Pascakejadian itu, Sri Mulyani masih tetap bertugas, walau akhirnya dia kembali memutuskan untuk mundur dan keputusan itu pun terjadi.

“Di mana sistem politik tidak menghendaki lagi atau dalam hal ini tidak memungkinkan etika publik itu bisa dimnculkan, maka untuk orang seperti saya akan menjadi sangat tidak mungkin untuk eksis. Karena pada saat saya menerima tangung jawab untuk menjadi pejabat publik, saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri. Saya tidak ingin menjadi orang yang akan mengkhianati dengan berbuat corrupt. Saya tidak mengatakan itu gampang. Sangat painfull. Sungguh painfull sekali,” tuturnya.

Tidak hanya itu, dia menilai selama beberapa minggu dan bulan ini, seolah-olah persoalan negara ini disandera oleh satu orang, terkait kasus bailout Bank Century. Sedemikian pandainya proses politik itu diramu sehingga seolah-olah persoalannya menjadi persoalan satu orang. Seseorang yang pada suatu ketika dia harus membuat keputusan yang sungguh tidak mudah, dengan berbagai pergumulan, kejengkelan, kemarahan, kecapekan, kelelahan, namun dia harus tetap membuat kebijakan publik. Dia pun mempertanyakan kebijakan bailout yang dipermasalahkan berbagai kalangan. Padahal upaya itu sudah cukup transparan. Namun dia masih dikorbankan oleh sebuah proses politik.

Namun pada akhirnya srikandi Indonesia ini merasa tidak kalah. “Sebagian dari Anda mengatakan apakah Sri mulyani kalah, apakah Sri Mulyani lari? Dan saya yakin banyak yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu adalah suatu loss atau kehilangan. Di antara Anda semua yang ada disini, saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya tidak di sini,” tegas dia.

Ukuran kemenangan Sri Mulyani atas berbagai tekanan politik itu dilihat dalam tiga hal. Pertama, selama tidak mengkhianati kebenaran. Kedua, selama tidak mengingkari nurani. Ketiga, selama masih bisa menjaga martabat dan harga diri. (teh, 19-5-2010)

Sri Mulyani Indrawati